Sosok
itu, sosok itu, sosok yang pernah kutemui sebelumnya. Lelaki tinggi berkulit
putih yang tiba-tiba mengalihkan perhatianku, pengalihkan pandanganku dari
ramenya seminar yang aku ikuti siang ini. Dia, dia berdiri didepan sebuah
pintu, berbaju putih yang membuatnya kelihatan bercahaya diantara
berpuluh-puluh orang yang hadir. Aku mulai mencari informasi tentangnya, siapa
dia, dimana rumahnya, nomor hpnya dan aku ingin segera berkenalan dengannya. Namanya Muttakin, anak semester tiga
Pendidikan Agama Islam di salah satu Universitas Islam di Yogyakarta, begitulah
informasi sementara yang aku dapatkan.
ѥ
ѥ ѥ
Pagi
ini, aku akan mengikuti seminar tentang kesenian Islam. Bergegas aku mandi dan persiapan
untuk berangkat bersama Emi. “mi, sudah siap belum? Ayolah keburu terlambat”
kataku sambil memanasi si putih, motor kesayanganku. “Iya, ha. Tunggu bentar
lah” dia berlari menghampiriku. Kami langsung berangkat ke TKP yaitu sebuah
rumah makan kecil di pinggir jalan, yang pagi ini menurutku jalannya sangat
ramai. “Eh ada ziah di sini, Em” sambil menunjuk sesosok wanita yang menyambut
orang-orang yang hadir. “oh iya” berbisik lirih. “Assalamu’alaikum Zi” menjabat
tangannya. “Wa’alaikum salam Leha, Emi, yuk langsung saja duduk disana. Ada mas
Akin juga loh” tersenyum membisikkannya ke telingaku. Tertegun aku
mendengarnya, dagdigdug hatiku melihat wajahnya. Dia berada di atas sebuah
panggung kecil dan menyanyikan sebuah lagu yang wauw banget. Perlahan aku duduk
bersama Emi sambil mengikuti senandung lagu yang dinyanyikan. Tiba-tiba
handphoneku berdering tertulis nama “Bunda”, “Assalamu’alaikum bun, ada apa?”.
“Bunda sudah di Asrama nduk, cepat
pulang ya!”. Bergegas aku balik ke asrama bersama Emi, Baru saja ngobrol
sebentar bersama bunda, Ziah sms kalau mas Akin, ngisi acara di ruang seminar.
Dan tanpa pikir panjang aku langsung balik untuk menyaksikan penampilan mas
Akin.
Duduk
disini bersama berpuluh-puluh orang yang hadir, membuatku jenuh. Sesekali aku
mencoba memandangnya. Memandang kosongnya tatapan mas Akin, melihat apa yang
sedang dia lakukan, tersenyum geli melihat tingkahnya yang sebenarnya biasa
saja. Tapi menurutku diamnyalah yang membuatnya berbeda dari yang lainnya.
Waktu terus berputar tak terasa waktu menunjukkan pukul 13.00, dan itu adalah
saatnya aku harus berpisah. Rasanya ingin menghentikan waktu, biar aku selalu
bisa memandang wajahnya. Sedih memang tapi mau bagaimana lagi, mungkin suatu
saat nanti, aku akan dipertemukan dengannya lagi. Yaa “suatu saat nanti”, aku
yakin itu.
ѥ
ѥ ѥ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar