Sabtu, 04 Januari 2014

Sekilas tentang Kikin



Sosok itu, sosok itu, sosok yang pernah kutemui sebelumnya. Lelaki tinggi berkulit putih yang tiba-tiba mengalihkan perhatianku, pengalihkan pandanganku dari ramenya seminar yang aku ikuti siang ini. Dia, dia berdiri didepan sebuah pintu, berbaju putih yang membuatnya kelihatan bercahaya diantara berpuluh-puluh orang yang hadir. Aku mulai mencari informasi tentangnya, siapa dia, dimana rumahnya, nomor hpnya dan aku ingin segera berkenalan dengannya.  Namanya Muttakin, anak semester tiga Pendidikan Agama Islam di salah satu Universitas Islam di Yogyakarta, begitulah informasi sementara yang aku dapatkan.
                                                ѥ ѥ ѥ
Pagi ini, aku akan mengikuti seminar tentang kesenian Islam. Bergegas aku mandi dan persiapan untuk berangkat bersama Emi. “mi, sudah siap belum? Ayolah keburu terlambat” kataku sambil memanasi si putih, motor kesayanganku. “Iya, ha. Tunggu bentar lah” dia berlari menghampiriku. Kami langsung berangkat ke TKP yaitu sebuah rumah makan kecil di pinggir jalan, yang pagi ini menurutku jalannya sangat ramai. “Eh ada ziah di sini, Em” sambil menunjuk sesosok wanita yang menyambut orang-orang yang hadir. “oh iya” berbisik lirih. “Assalamu’alaikum Zi” menjabat tangannya. “Wa’alaikum salam Leha, Emi, yuk langsung saja duduk disana. Ada mas Akin juga loh” tersenyum membisikkannya ke telingaku. Tertegun aku mendengarnya, dagdigdug hatiku melihat wajahnya. Dia berada di atas sebuah panggung kecil dan menyanyikan sebuah lagu yang wauw banget. Perlahan aku duduk bersama Emi sambil mengikuti senandung lagu yang dinyanyikan. Tiba-tiba handphoneku berdering tertulis nama “Bunda”, “Assalamu’alaikum bun, ada apa?”. “Bunda sudah di Asrama nduk, cepat pulang ya!”. Bergegas aku balik ke asrama bersama Emi, Baru saja ngobrol sebentar bersama bunda, Ziah sms kalau mas Akin, ngisi acara di ruang seminar. Dan tanpa pikir panjang aku langsung balik untuk menyaksikan penampilan mas Akin.
Duduk disini bersama berpuluh-puluh orang yang hadir, membuatku jenuh. Sesekali aku mencoba memandangnya. Memandang kosongnya tatapan mas Akin, melihat apa yang sedang dia lakukan, tersenyum geli melihat tingkahnya yang sebenarnya biasa saja. Tapi menurutku diamnyalah yang membuatnya berbeda dari yang lainnya. Waktu terus berputar tak terasa waktu menunjukkan pukul 13.00, dan itu adalah saatnya aku harus berpisah. Rasanya ingin menghentikan waktu, biar aku selalu bisa memandang wajahnya. Sedih memang tapi mau bagaimana lagi, mungkin suatu saat nanti, aku akan dipertemukan dengannya lagi. Yaa “suatu saat nanti”, aku yakin itu.
                                                ѥ ѥ ѥ


Tidak ada komentar:

Posting Komentar